Sekitar setahun yang lalu, buku “Seni untuk Bersikap Bodo Amat” / “The Subtle Art of Not Giving a F*ck” oleh Mark Manson mulai digemari oleh banyak kalangan di Indonesia, baik tua maupun muda. Salah satu akun twitter bidang bisnis Mas Yodhi (pemilik akun @Strategi_Bisnis) juga salah satu yang merekomendasikan buku ini. Sudah banyak juga review positif dari Kompasiana dan Gramedia sendiri.
Pastilah kita penasaran mengapa buku ini menjadi salah satu Best Seller, tidak hanya di negara asalnya Amerika Serikat namun juga di Indonesia. Kenapa kok bisa terkenal?
Terlepas dari judulnya yang kontroversial, buku ini memberikan energi positif bagi banyak orang. Namun ada beberapa orang yang membaca buku ini, salah satunya berkomentar dia tidak dapat relate dengan buku ini, ada juga yang bilang malah memberikan energi negatif, serta terkesan marah-marah.
Saya akan sedikit review dan berkomentar mengenai buku ini dari perspektif pengalaman saya dalam menghadapi depresi 3 tahun yang lalu.
Saya membaca buku ini sekitar 2 tahun yang lalu, buku ini bagi saya merupakan buku yang mengeluarkan saya dari depresi. Tapi buku ini dibaca banyak orang bukan berarti banyak yang depresi. Ada benang merah yang lebih tebal, menghubungkan khalayak di Indonesia mengapa banyak yang bersemangat saat membaca buku ini.
Kita, mereka, sudah capek. Capek.
Capek mengikuti lingkungan dan orang sekitar namun hasilnya tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Dari rasa capek ini, muncul sedikit rasa putus asa.
Memang bukan salah kita semua kalau kita terlalu naif mendengarkan apa yang orang sekitar katakan. Dulu kita iya-iya kan saja. Namun setelah diikuti dan tidak bekerja, ketika kita ingin minta pertanggung jawaban, mereka seolah berdalih.
Rasa putus asa ini diikuti pencerahan bahwa sebenarnya kita perlu “tidak percaya” dengan kata-kata orang lain. Bukankah apapun keputusan kita, diri sendiri yang bertanggung jawab?
Jika perasaannya mencapai titik ekstrim, bisa sampai pemikiran tidak percaya dengan semua orang. Boleh jadi jatuh ke level depresi.
Buku ini memandu orang yang jatuh untuk bangkit, dan memberikan penjelasan tentang “pencerahan” yang kita dapatkan sehingga tidak disalahpahami. Sebagian orang yang tidak mendapatkan penjelasan ini, mendekam dan menyendiri karena berpikir bahwa di dunia ini orang-orang tidak bisa dipercaya.
Mereka yang menyendiri menjadi apati, namun pola pikir mereka masih sama dengan ketika mereka masih naif.
Bahwa kondisi yang dia semua rasakan merupakan salah orang lain, yang kita sebut sebagai Victim Mentality / Mental Korban
Seni Bersikap Bodo Amat mengajak kita semua tidak hanya untuk merefleksikan diri, namun juga membimbing bahwa arah haluan hidup bisa berubah jika kita mau menjadi nahkoda, dan menanggung seluruh tanggung jawab sebagai nahkoda
Banyak orang yang berkata ingin menjadi nahkodanya, namun tidak ingin tanggung jawabnya. Orang-orang tersebut hanya menyandang nahkoda sebagai titel, mengarungi lautan ketika senyap dan tenang. Saat laut menjadi ganas dan ombak menghadang, mereka menyalahkan ombak bukan menghadapinya.
Bagaimana buku ini membantu orang-orang yang apati ini keluar menjadi manusia yang lebih baik?
Buku ini mengeluarkan rasa marah yang terpendam dari mereka, dan mengajak mereka move on dari rasa marah tersebut
Saya telah jelaskan sedikit di artikel sebelumnya: Perspektif Baru Mengenai Depresi
Rasa marah merupakan tahapan yang perlu dilewati oleh korban depresi, dan buku ini mengajak kita marah dan sadar dengan kenyataan. Kemudian setelah rasa marah selesai, kita perlu move on.
Tahukah apa yang terjadi jika rasa marah tersebut dipendam, setelah mendapat pencerahan?
Di Amerika Serikat, yang terjadi adalah penembakan massal.
Penembakan massal di Amerika Serikat merupakan isu yang sensitif, pro kontranya adalah mengenai kebijakan kepemilikan senjata api untuk rakyat sipil. Namun kita perlu tahu bahwa yang menyebabkan orang tersebut bergerak tidak hanya dia punya senjata api, tapi tidak ada orang yang menuntun dia untuk melepaskan amarah dengan sehat.
Buku ini adalah salah satu buku terbaik untuk keluar dari rasa emosi depresi, menyalahkan diri sendiri, putus asa, dan apati.
Namun, ini bukan buku yang direkomendasikan jika kamu sudah menjalani hidup dengan optimis. Sebaliknya malah menarik kamu ke emosi rasa marah.
Jika bertahun-tahun setelah membaca buku Seni Bersikap Bodo Amat dan masih berkutat dengan buku ini, mungkin ada hal yang lebih indah yang belum kamu lihat di hidup ini.
Artikel ini terinspirasi oleh seorang teman yang sedang mereview buku ini
Photo from John Eightclip