“Suatu hari rasa cemas akan hilang, aku hidupku tenang”, pernah tidak kamu berpikir seperti?
Setiap hari kecemasan yang terus muncul membuat kamu selalu berpikir untuk menghindari atau menghilangkannya. Di sisi lain, banyak orang menghasilkan uang berkat rasa cemas. Obat-obatan, buku-buku self motivation, dan seminar-seminar dikerubungi banyak orang dengan harapan rasa cemas tersebut hilang.
Kamu suatu saat akan sedikit tergelitik, dimana kamu menyadari bahwa setiap hari hidupmu hanya berpikir bagaimana cara menghilangkan rasa cemas tersebut walaupun kamu tahu bahwa ia datang kembali. Seolah-olah kita bermain kejar-kejaran yang tidak pernah berakhir dengan sesuatu yang lumrah dalam diri manusia.
Rasa cemas adalah hal yang wajar dalam emosi manusia sehari-hari. Saya pernah cemas, kamu pernah cemas, dia pernah cemas. Sama seperti hujan. Suka tidak suka, jika terjadi maka terjadilah. Cemas datang dan pergi. Tapi sama seperti hujan, rasa cemas ada pemicunya.
Kalau kamu sering menonton video motivasi, mereka menampikkan rasa cemas seperti orang panik, dimana mereka membanting sesuatu atau berteriak sambil menangis. Terlihat berlebihan. Walaupun rasa cemas yang tidak terkontrol akan membuat kita seperti itu, tapi 90% kehidupan sehari-hari kamu mampu mengontrolnya. Namun kamu tidak nyaman ketika rasa cemas tersebut muncul.
Setelah bertahun-tahun hidup bersama rasa cemas kecil dan besar, pernahkah untuk berpikir mengapa rasa cemas tersebut muncul?
Dari halodoc.com penyebab kecemasan bisa dari berbagai macam hal, tapi saya tidak membahas yang ekstrim seperti faktor genetik atau reaksi kimia di otak (hormon imbalance). Toh saya yakin 99% pembaca saya bukan dari kategori tersebut.
Rasa Cemas vs Rasa Bosan
Salah satu penjelasan terbaik rasa cemas (anxiety) ada di dalam buku “Flow” oleh Mihaly Csikszentmihalyi. Dari grafik di buku beliau, rasa cemas dijelaskan ketika challenge lebih besar daripada skill yang kamu miliki. Lawan dari rasa cemas yaitu rasa bosan adalah saat challenge yang dilakukan lebih kecil dari skill yang kamu miliki.
Optimalnya ada di “flow state” dimana challenge dan skill yang kamu miliki klop dan kamu masuk ke saat dimana kamu fokus dan mampu menikmati suatu kegiatan secara 100%.
Dari sini kita bisa mendapatkan sedikit ilham bahwa rasa cemas timbul disaat kemampuan tidak sesuai dengan masalah yang dimiliki. Namun menurut saya tidak hanya itu
Kamu merasa tidak cukup untuk menyelesaikan atau menghadapi tantangan/masalah.
Sering kali otak rasional kamu 100% yakin bahwa kamu bisa namun hati berkata lain. Ada sisi dimana kamu tidak ingin menghadapinya karena antara tidak yakin kamu bisa atau bisa tapi dengan effort yang luar biasa.
Salah satu penyebab rasa cemas timbul akibat keadaan lingkungan. Bisa jadi karena ada masalah yang tidak berani kamu hadapi. Semakin kamu mencoba menghindar, semakin kepikiran kamu dengan hal tersebut. Banyak kasus dimana orang takut melakukan sesuatu sampai ketika orang tersebut melakukannya. Rasa takut tersebut ternyata hanya di dalam pikiran saja. Toh setelah dilakukan ternyata sudah dilupakan dalam beberapa hari setelahnya.
Karena sudah takut duluan, maka tidak pernah mau dikerjakan.
Jangan Melawan Rasa Cemas
Rasa cemas yang timbul saat seperti ini, menjadi masalah yang semakin umum semenjak sosial media populer. Saya tidak bicara banyak soal sosial media, namun efek yang paling umum dari pecandu sosial media adalah minder dan terlalu kepikiran dengan apa yang dikatakan oleh orang lain. Minder membuat kita semakin tidak yakin dengan apa yang kita punya/bisa dilakukan, membuat kita fokus kepada yang tidak kita punya.
Ada banyak cara untuk menghilangkan rasa cemas, banyak sekali. Kamu bisa cari di internet dan mendapatkan setidaknya ada 10 cara mengatasi rasa cemas.
Tapi setelah bertahun-tahun mengarungi topik rasa cemas, saya menyadari mengatasi rasa cemas bukanlah sebuah end goal.
End goal-nya adalah kita berdamai dan welcome dengan rasa cemas, karena dia adalah bagian dari emosi manusia.
Tentu semua emosi yang berlebihan tidak baik, namun jika tidak memiliki emosi sebagai manusia what’s the point?
Gua pertama kali mendengar merasa tergelitik namun penasaran, mengapa justru kita berdamai dengan rasa cemas bukan melawannya.
Emosi manusia semakin dipendam, semakin dilawan justru akan semakin kuat. Emosi kita semakin diingat dan diberi perhatian, maka akan semakin besar. Ibaratnya balon yang ditiup menggunakan pompa, menunggu pecah emosi tersebut a.k.a meltdown.
Menghindari emosi merupakan dua sisi koin yang sama dengan memberi perhatiannya, hanya saja caranya berbeda. Suatu saat akan pecah dan kamu akan kaget mengapa kamu bisa melakukan hal tersebut.
Jalan tengahnya adalah menerima emosi tersebut, jangan malu ataupun kabur ketika emosi tersebut datang. Kemudian setelah kamu sadari dan terima, biarkan dia hilang. Kamu tidak bisa mengusir emosi yang tidak kamu inginkan dan menahan emosi yang kamu inginkan. Mereka datang dan pergi.
Menerima dan melepaskan emosi bagi sebagian orang bukanlah hal yang mudah, saya akui. Contohnya saja laki-laki yang diajari untuk tidak emosional dan wanita yang berusaha menjadi seperti laki-laki. Sang laki-laki tersebut seharusnya diajari untuk mengekspresikan emosi dengan sehat dan sang wanita tersebut diajak untuk mengekspresikan emosi layaknya seorang wanita. Laki-laki dan wanita mempunyai cara berbeda untuk menyampaikan emosi yang sehat.
My Past
Cerita saya 3 tahun yang lalu, dimana saat itu masih bersekolah pasca sarjana di Jepang 2017.
Pada masa itu saya akui bahwa diri 3 tahun yang lalu belum sematang sekarang. Rasa cemas yang dipendam mengganggu aktivitas perkuliahan dan sosial, sering menjalani hari-hari sendirian. Saya sadari bahwa walaupun terlihat bahagia dari Indonesia karena bisa tinggal di luar negeri, di saat itu juga merupakan titik terbawah dalam hidup.
Beruntung, tahun itu juga saya mendapatkan pencerahan bahwa dengan menyadari dan mengakui bahwa kita dalam masalah, itulah titik dimana kita bisa mengontrol jalan kehidupan. Menghindari atau dengan pura-pura tanpa masalah hanya akan membuat kita jatuh. Saat itu dengan bantuan internet, banyak support bahwa hidup dapat berubah dengan cara kamu mengakui masalah dan segera take action.
Walaupun bahasa Jepang saya bagus, tapi tidak percaya diri ketika berbicara
Walaupun nilai akademik saya bagus, tapi tidak percaya diri bahwa kamu bisa menyelesaikan kuliah
Dari luar saya terlihat dewasa, namun di dalam saya merasa tidak pernah cukup
Namun dengan mengakui ini semua, akar permasalahan mulai terlihat sedikit demi sedikit.
Saya selalu melihat diri sebagai orang yang tidak punya masalah, tapi saat itulah saya menghindari masalah
Saat kamu tidak lagi menyalahkan orang lain tentang emosimu, maka kamu akan melihat bahwa hidup bisa dikendalikan, dengan menyetir cukup satu tangan saja.
Photo by Ray Hennessy on Unsplash