Self Improvement

Terperangkap oleh Identitas

Mencoba mengerti siapa diri kita adalah setengah perjalanan dari hidup manusia. Jaman sekarang, kita dapat memiliki akses informasi dengan satu sentuhan mengenai MBTI, Big 5, horoscope, dan segala yang membuat kamu bisa mengkategorikan dirimu dibanding orang lain.

Ada introvert dan extrovert. Ada Virgo dan Libra. Ada neuroticism rendah dan tinggi. Dengan singkat kamu bisa melihat bagaimana dirimu lewat kategori ini.

Saya bisa dikatakan sering menggunakan MBTI dan Big 5 untuk mengerti diri sendiri. Jika kamu mendapat hasil tes MBTI bahwa kamu seorang introvert, kamu akan memahami mengapa kamu tidak sering pergi keluar dan lebih nyaman berapa di rumah saja. Lewat test Big 5, kamu akan paham mengapa emosi mu naik turun seharian setelah melihat hasil test neuroticism tinggi.

Dengan adanya tes-tes seperti ini, kita mampu membangun fokus kekuatan yang kita miliki dan memahami kelemahan kita. Sehingga berkat adanya informasi ini, pemilihan karir, pasangan hidup, lingkaran pertemanan bisa lebih terarah dan menghindari ketidakcocokan. Tidak hanya itu, dengan adanya interpretasi tiap kategori yang bisa kamu baca, maka kamu pun mampu menebak-menebak tipe orang lain dan menakar tingkat kecocokanmu dengan orang tersebut.

Seharusnya dengan adanya informasi tes personalitas, maka mengikuti panduan tersebut dan hidup seperti hasil tes personalitas.

Saya telah berpikir seperti ini, sampai saya teringat dalam beberapa waktu tentang MBTI tes yang pernah saya ambil.

Selama 7 tahun, setidaknya saya mengambil tes setidaknya 7 kali. Saya hampir selalu mendapatkan hasil “INTP” namun ada 1x tes tersebut menunjukkan bahwa saya adalah seorang “INFP”. Orang-orang bisa berubah, personalitas seseorang bisa berubah dari waktu ke waktu. Begitulah kesimpulan saya waktu itu.

Namun setelah beberapa saat, dan sampai minggu lalu saya mendapatkan sedikit pergeseran pemahaman. Orang-orang berubah, tapi tidak berubah drastis. Bahkan manusia yang terkena shock, atau trauma (dan juga yang telah sembuh dari trauma) pun akan berubah sedikit personalitasnya. Jadi apakah penyebab jika seseorang mendapati tes personalitas yang berbeda setiap saat?

Apa yang saya amati dalam perjalanan hidup selama ini, bukan terletak di perubahannya. Bagaimana jika kita, dari awal memang tidak bisa dikategorikan secara pasti? Saya percaya setiap manusia unik, dan dari sini pengkategorikan dengan tipe-tipe personalitas kurang masuk akal. Bisa jadi saya 70% INTP dan 30% INFP. Setiap manusia tidak bisa dikategorikan secara statis.

Dulu, ketika masih saklek dengan MBTI tipe saya INTP, saya mempercayai diri saya sebagai seorang introvert. Saya tidak ahli dalam public speaking, ataupun berbicara. Saya pandai menulis dan berpikir dalam. Itu yang dulu saya percayai. Akan tetapi kepercayaan ini justru membatasi perkembangan diri saya sendiri.

Tidak pandai bukan berarti tidak bisa.

Pagar yang dibuat oleh pikiran sendiri justru menghambat dan menghalangi potensi dalam diri. Seolah-olah pasrah dengan kategori yang dibuat oleh “orang pintar”, selamanya kita terjebak dalam kategori tersebut.

Penggunaan kategori seperti tipe personalitas berguna dalam mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan, bukan sebagai batasan dalam memilih. Sebagai manusia, kita perlu memahami bahwa kita juga salah dan tidak tahu. Potensi-potensi dalam diri manusia sendiri, bahkan yang punya tubuh sendiri tidak tahu.

Sering kali kita ingin jawaban semuanya dalam hidup ini langsung terjawab, padahal bagi saya mencari jawaban tersebut adalah petualangan tersendiri yang membuat hidup semakin berwarna. Kebutuhan dan potensi tiap orang berbeda, kita tidak bisa langsung percaya dan membatasi diri sendiri gara-gara apa yang dikatakan orang lain.

Kita adalah manusia, bukan robot yang spesifikasinya sudah tetap.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *